Dahulu, ada seorang pengusaha yang cukup berhasil di kota ini. Ketika sang suami jatuh sakit, satu per satu pabrik mereka dijual. Harta mereka terkuras untuk berbagai biaya pengobatan. Hingga mereka harus pindah ke pinggiran kota dan membuka rumah makan sederhana. Sang suami pun telah tiada.
Beberapa tahun kemudian, rumah makan itu pun harus berganti rupa menjadi warung makan yang lebih kecil sebelah pasar.
Setelah lama tak mendengar kabarnya, kini setiap malam tampak sang istri dibantu oleh anak dan menantunya menggelar tikar berjualan lesehan di alun-alun kota. Cucunya sudah beberapa. Orang-orang pun masih mengenal masa lalunya yang berkelimpahan. Namun, ia tak kehilangan senyumnya yang tegar saat meladeni para pembeli.
Wahai ibu, bagaimana kau sedemikian kuat?
“Harapan nak! Jangan kehilangan harapan. Bukankah seorang guru dunia pernah berujar, karena harapanlah seorang ibu menyusui anaknya. Karena harapanlah kita menanam pohon meski kita tahu kita tak kan sempat memetik buahnya yang ranum bertahun-tahun kemudian. Sekali kau kehilangan harapan, kau kehilangan seluruh kekuatanmu untuk menghadapi dunia”.
peace & love
sumber: Motivasi Net
Renungan
Memang benar, harapan adalah kekuatan kita untuk bertahan. Berapa banyak orang yang mengalami depresi karena kehilangan harapan? Harapan yang kandas bahkan dapat merenggut nyawa dengan mudah. Hanya karena cinta yang bertepuk sebelah tangan, seorang anak muda nekad mengakhiri hidupnya. Sungguh ironis.
Sementara itu, seorang bapak yang telah kehilangan segala-galanya; harta, benda bahkan keluarga yang dicintai akibat tsunami, begitu tegar menggantungkan harapan. Dengan sisa harta yang ada, dibukanya warung makan tenda. Hari demi hari ia merajut harapan baru.
Begitu juga dengan seorang ibu yang kehilangan warung dan seisinya -satu-satunya gantungan hidup- akibat banjir bandang di Jakarta. Dengan bermodal tekad, ia buka kembali warungnya.
Harapanlah yang membuat mereka kuat.
0 komentar:
Posting Komentar